Saya sebagai pengguna jasa bank sangat dimudahkan dengan transaksi yang realtime online, dengan kemampuan internet banking di era digital ini, bank menerebos semua kalangan dengan teknologinya, baik itu teknologi pemasaran maupun teknologi digital dengan system informasi yang sudah maju, salah satu yang diterapkan yaitu Sistem Informasi Manajemen merupakan sistem informasi yang sudah banyak diterapkan pada perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan barang dan jasa baik pada perusahaan besar, menengah, atau perusahaan kecil, demikian juga di dunia perbankan, SIM dapat diterapkan pada semua tingkat atau level manajemen yang ada yaitu manajemen tingkat atas (top management), manajemen tingkat menengah (middle management), dan manajemen tingkat bawah (lower management).
Kita bisa lihat di supermarket yang sudah menerapkan system ini, mereka menngunakan mesin cash register (mesin kasir) yang dilengkapi dengan kendali komputer sehingga mesin tersebut dapat dikontrol oleh manajer.
Demikian juga di dunia perbankan, salah satu solusi sistem informasi perbankan telah diperkenalkan oleh perusahaan besar seperti Hewlett-Packard (HP), yang bekerja sama dengan Infosys telah memperkenalkan solusi core banking, yang disebut Finacle kepada bank-bank di Indonesia. Finacle memberikan solusi bagi bank yang ingin melakukan up-grade terhadap sistem yang telah mereka miliki. Dengan menggunakan Finacle, up-grade sistem bisa dilaksanakan dengan resiko investasi maupun kegagalan migrasi yang rendah. Ini penting bagi bank-bank agar mampu menghadapi siklus bisnis yang selalu berubah. Dengan solusi terpadu ini – berupa software dan hardware, jaringan, sistem integrasi, serta opsi consulting dan outsourcing – bank juga akan memiliki nilai tambah sehingga menjadi lebih maju dalam hal teknologi.
Era digital yang sudah maju ini perkembangan teknologi informasi telah mempengaruhi kebijakan dan strategi dunia usaha perbankan yang selanjutnya lebih mendorong inovasi dan persaingan di bidang layanan terutama jasa layanan pembayaran melalui bank. Inovasi jasa layanan perbankan yang berbasis teknologi tersebut terus berkembang mengikuti pola kebutuhan nasabah bank. Transaksi perbankan berbasis elektronik, termasuk internet banking dan sms menggunakan handphone untuk transaksi merupakan bentuk perkembangan penyedia jasa layanan bank yang memberikan peluang usaha baru bagi bank yang kerakibat pada perubahan strategi usaha perbankan. Teknologi informasi komputer perbankan salah satunya digunakan di ATM sekaligus untuk menghitung bunga secara otomatis, transaksi on-line, dan lain lain.
Namun masih ada beberapa celah yang masih ada kekurangan dalam penerapan teknologi informasi yang realtime ini, baik di internal bank itu sendiri, dengan sesama bank yang satu link ( di Indonesia “bersama”) ataupun yang bukan satu link, ini merupakan tantangan bagi suatu bank untuk berkompetisi untuk menyempurnakan teknologinya.
sumber : http://www.google.co.id/search?hl=id&source=hp&q=masalah+pada+perbankan&oq=masalah+pada+perbankan&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=332713l339338l0l24l24l1l12l13l0l178l1269l4.7&biw=1280&bih=834&cad=cbv#sclient=psy&hl=id&biw=1280&bih=834&prmdo=1&tbm=blg&source=hp&q=perkembangan+teknologi+pada+perbankan&aq=f&aqi=&aql=&oq=&pbx=1&fp=a0bbeae323276964
Selasa, 17 Mei 2011
Citibank Vs Prinsip Ekonomi Syariah
Citibank ramai dibicarakan publik tanah air setelah tersandung kasus pembobolan dana nasabah oleh Inong Malinda atau Melinda Dee dan meninggalnya salah satu nasabah kartu kredit, Irzen Octa pada saat berurusan dengan Debt Collector. Sangsi dan hukuman telah dijatuhkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas, dan bukan tidak mungkin sangsi akan diperberat jika bukti-bukti baru ditemukan dari proses pengadilan yang sedang berlangsung.
Dua pelanggaran fatal yang berbeda, terjadi dalam waktu hampir bersamaan, di bank yang sama, sulit untuk dikatakan sebagai penyimpangan yang terjadi secara kebetulan. Di Indonesia Citibank telah berkiprah selama 42 tahun dan merupakan bank asing terbesar. Inovasi produknya banyak menjadi role model bagi perbankan tanah air. Penghargaan sebagai bank terbaik di Indonesia bahkan pernah disandang Citibank selama sembilan kali berturut-turut. Tapi mengapa tiba-tiba Citibank tersandung kasus kejahatan perbankan sangat serius?
Apa Sebab praktek debt collector Citibank akhir-akhir ini ramai dikeluhkan oleh sebagian nasabahnya hingga mencapai puncaknya dengan tewasnya Irzen Octa? Apa sebabnya Citibank seolah terhipnotis oleh sepak terjang Inong Malinda, sehingga bank bereputasi internasional itu terjerumus ke dalam penyimpangan standar operasional prosedur dalam beberapa aspek? Pasti semua sepakat, sebabnya adalah target mendapat untung besar dan untung besar, apapun dan bagaimanapun. Mendapat untung adalah tidak salah dan sah-sah saja dalam kegiatan ekonomi. Namun apa yang keliru dari Citibank Indonesia dalam mengejar target keuntungan tersebut?
Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam
Tujuan bekerja dan berkegiatan ekonomi dalam Islam tidak semata-mata untuk mendapat keuntungan secara fisik dan kenikmatan duniawi. Tujuan utama bekerja dan berkegiatan ekonomi dalam islam adalah untuk meraih falah, yakni kemuliaan, kemenangan dan kebahagiaan dunia akherat. Dalam ekonomi islam, tujuan utama kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi bukanlah memaksimalkan keuntungan/manfaat fisik, sebagaimana dalam teori ekonomi konvensional, karena itu hanyalah sebagian tujuan saja, masih ada tujuan lain yang lebih besar yakni memaksimalkan keberkahan. Gabungan manfaat/keuntungan fisik dan keberkahan itulah yang disebut maslahah. Jadi tujuan kegiatan konsumsi, produksi dan distribusi dalam rangkaian kegiatan ekonomi islam adalah memaksimalkan maslahah. Sehingga target keuntungan nominal bukanlah diposisikan sebagai titik akhir atau harga mati yang harus ada pada waktu yang ditentukan manusia.
Seluruh proses kegiatan ekonomi islam diarahkan kepada jalan menuju maslahah, jika ada jalan menuju manfaat/keuntungan fisik yang mengiurkan namun tidak mengandung keberkahan yang artinya berseberangan dengan nilai-nilai syariah pasti akan diabaikan. Sebab keuntungan/manfaat fisik tanpa adanya keberkahan sebenarnya yang sedang terjadi adalah proses membangun kerugian untuk dirinya sendiri tanpa disadari. Sepanjang sejarah, baik secara perhitungan makro maupun mikro, tidak ada kecurangan dan kejahatan bisnis yang tidak mendatangkan malapetaka sosial ekonomi di kemudian hari. Malapetaka itu pun tidak harus berupa kehilangan material yang bernilai nominal tertentu, namun bisa berupa kehidupan yang tidak berkah, penuh dengan kegelisahan, ketakutan dan senantiasa disibukkan dengan urusan dunia yang tiada habisnya yang hanya mendatangkan kebahagiaan palsu dan menguras energi, biaya dan waktu secara sia-sia.
Dalam sistem ekonomi konvensional, kelangkaan/keterbatasan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas dipandang sebagai akar dari permasalahan ekonomi baik secara makro maupun mikro. Tidak demikian dalam pandangan islam, sebab Allah Swt menciptakan alam semesta ini untuk manusia sepenuhnya dengan takaran yang tepat tentunya sehingga memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan makhlukNya. Kelangkaan sumber daya yang terjadi lebih diakibatkan karena perilaku berlebih-lebihan/boros (israf), serakah, melampaui batas dan zalim. Selain disebabkan karena perilaku buruk tersebut juga diakibatkan adanya distribusi sumber daya yang tidak merata, keterbatasan manusia dalam ilmu dan teknologi serta konflik antar tujuan yang tidak dikelola dan dikoordinasikan dengan baik diantara manusia. Sehingga kelangkaan yang timbul hakekatnya merupakan kelangkaan relatif, bukan kelangkaan riil.
Maka ketika kebutuhan dan keinginan manusia senantiasa berlomba-lomba menuntut untuk dipenuhi setiap waktu, islam telah mengatur konflik tersebut dengan menetapkan tingkatan maslahah, yakni dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat. Maslahah dharuriyat adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia dalam menjamin tegaknya lima hal pokok yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maslahah hajiyat adalah kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan dharury, sebagai pendukung/sarana menuju lima hal pokok itu. Maslahah tahsiniyat adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap bagi kemaslahatan sebelumnya. Jadi keseluruhan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi manusia adalah serangkaian proses memaksimalkan maslahah, guna memenuhi kebutuhan dan menjaga aqidah, jiwa, akal, keturunan dan harta untuk mencapai falah. Sebaliknya segala usaha yang menyebabkan rusaknya 5 hal pokok tersebut dilarang keras oleh Allah Swt.
Dalam konteks mencapai falah itu, islam memberi pedoman apa saja yang dilarang dan diperbolehkan dalam kegiatan ekonomi dan keuangan. Secara garis besar pelarangan utama pada praktek ekonomi dan keuangan islam meliputi hal sebagai berikut:
1. Praktek maisir atau tindakan spekulasi/judi, akibat tindakan spekulasi ini akan menimbulkan zero sum game, yang artinya satu pihak mendapat keuntungan dengan cara mengorbankan/menzalimi pihak lain tanpa ada pengganti nilai tambah yang setara dengan pengorbanannya tersebut.
2. Praktek gharar atau ketidakjelasan dalam hal akad, transaksi, informasi, kualitas serta kuantitasnya.
3. Praktek riba atau memungut keuntungan/tambahan tanpa melalui transaksi riil yang memiliki nilai tambah, atau dalam kata lain to have something out of nothing.
4. Praktek Risywah atau suap menyuap
5. Segala cara yang berdampak menzalimi pihak lain dan mengandung kegiatan maksiat.
6. Yang mengandung zat yang diharamkan seperti alkohol, daging babi, bangkai, darah, binatang buas dan menjijikan, dll
7. Dan lain-lain yang secara spesifik merupakan turunan atau variasi dari praktek-praktek di atas.
Kegiatan bisnis islam yang diperbolehkan adalah jual beli, sewa menyewa dan bisnis berbasis bagi hasil. Sehingga margin jual beli, biaya sewa/fee/ujrah dan nisbah bagi hasil merupakan sistem perhitungan yang direkomendasikan islam dalam memperoleh keuntungan/tambahan. Intinya adalah seluruh transaksi ekonomi harus memiliki underlying asset, atau adanya barang/jasa secara riil dalam setiap transaksi. Sehingga pemisahan antara sektor riil dan moneter dilarang dalam islam. Ekonomi islam hanya memperbolehkan one monetary unit for one real asset. Prinsip tersebut sangat ampuh menekan ketidakadilan dan kecurangan bisnis yang ditimbulkan dari transaksi dan akad yang manipulatif, akibat pemisahan sektor riil dan moneter.
Selain praktek-praktek dan zat yang dilarang tersebut, selebihnya semuanya diperbolehkan. Jadi sebenarnya lahan yang dilarang hanya sebagian kecil, masih jauh lebih banyak dan lebih luas kegiatan yang diperbolehkan. Tapi mengapa sebagian dari kita merasa sempit untuk lahan yang luas itu, dan merasa luas untuk lahan yang yang dilarang/yang sempit tersebut?
Jika prinsip-prinsip tersebut dilanggar tentulah akan merusak aqidah, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia menjadi tidak berkah, dan secara makro akan melahirkan perekonomian yang labil/rawan krisis dan akan mudah diikuti dengan problemantika sosial ekonomi dan kejahatan global yang bersifat sistemik.
Penutup
Benang merah pada dua kasus yang terjadi di Citibank dan juga kejahatan bisnis dan perbankan lainnya yang marak terjadi saat ini, jika dihadapkan dengan prinsip ekonomi syariah adalah telah menjadikan keuntungan/manfaat fisik sebagai titik akhir atau tujuan terbesarnya. Sehingga ketika muncul kasus yang menguji ketahanan moral dan etika dalam proses mengejar keuntungan, mudah tergelincir ke dalam cara yang mengabaikan hakekat tujuan manusia berekonomi yakni maslahah guna mencapai falah.
Ketika materi dan kenikmatan dunia menjadi daya pikat utama, maka pertimbangan maslahah yang meliputi pemenuhan kebutuhan terhadap agama, jiwa, akal, keluarga dan harta secara komprehensif tidak akan dipedulikan lagi.
Profesionalisme dan target maksimalisasi keuntungan harus dalam bingkai moral dan etika bisnis, yang secara agregat akan membentuk peradaban dunia, dimana harkat dan martabat manusia mendapatkan tempat tertinggi. Di luar bingkai moral dan etika tersebut hanya akan membentuk manusia ekonomi yang selalu terpusat pada kepentingan diri sendiri, dan satu-satunya tanggung jawab sosial manusia ekonomi adalah memaksimalkan keuntungan dengan berbagai cara.
sumber : http://kabepiilampungcom.wordpress.com/2011/05/16/citibank-vs-prinsip-ekonomi-syariah/
Dua pelanggaran fatal yang berbeda, terjadi dalam waktu hampir bersamaan, di bank yang sama, sulit untuk dikatakan sebagai penyimpangan yang terjadi secara kebetulan. Di Indonesia Citibank telah berkiprah selama 42 tahun dan merupakan bank asing terbesar. Inovasi produknya banyak menjadi role model bagi perbankan tanah air. Penghargaan sebagai bank terbaik di Indonesia bahkan pernah disandang Citibank selama sembilan kali berturut-turut. Tapi mengapa tiba-tiba Citibank tersandung kasus kejahatan perbankan sangat serius?
Apa Sebab praktek debt collector Citibank akhir-akhir ini ramai dikeluhkan oleh sebagian nasabahnya hingga mencapai puncaknya dengan tewasnya Irzen Octa? Apa sebabnya Citibank seolah terhipnotis oleh sepak terjang Inong Malinda, sehingga bank bereputasi internasional itu terjerumus ke dalam penyimpangan standar operasional prosedur dalam beberapa aspek? Pasti semua sepakat, sebabnya adalah target mendapat untung besar dan untung besar, apapun dan bagaimanapun. Mendapat untung adalah tidak salah dan sah-sah saja dalam kegiatan ekonomi. Namun apa yang keliru dari Citibank Indonesia dalam mengejar target keuntungan tersebut?
Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam
Tujuan bekerja dan berkegiatan ekonomi dalam Islam tidak semata-mata untuk mendapat keuntungan secara fisik dan kenikmatan duniawi. Tujuan utama bekerja dan berkegiatan ekonomi dalam islam adalah untuk meraih falah, yakni kemuliaan, kemenangan dan kebahagiaan dunia akherat. Dalam ekonomi islam, tujuan utama kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi bukanlah memaksimalkan keuntungan/manfaat fisik, sebagaimana dalam teori ekonomi konvensional, karena itu hanyalah sebagian tujuan saja, masih ada tujuan lain yang lebih besar yakni memaksimalkan keberkahan. Gabungan manfaat/keuntungan fisik dan keberkahan itulah yang disebut maslahah. Jadi tujuan kegiatan konsumsi, produksi dan distribusi dalam rangkaian kegiatan ekonomi islam adalah memaksimalkan maslahah. Sehingga target keuntungan nominal bukanlah diposisikan sebagai titik akhir atau harga mati yang harus ada pada waktu yang ditentukan manusia.
Seluruh proses kegiatan ekonomi islam diarahkan kepada jalan menuju maslahah, jika ada jalan menuju manfaat/keuntungan fisik yang mengiurkan namun tidak mengandung keberkahan yang artinya berseberangan dengan nilai-nilai syariah pasti akan diabaikan. Sebab keuntungan/manfaat fisik tanpa adanya keberkahan sebenarnya yang sedang terjadi adalah proses membangun kerugian untuk dirinya sendiri tanpa disadari. Sepanjang sejarah, baik secara perhitungan makro maupun mikro, tidak ada kecurangan dan kejahatan bisnis yang tidak mendatangkan malapetaka sosial ekonomi di kemudian hari. Malapetaka itu pun tidak harus berupa kehilangan material yang bernilai nominal tertentu, namun bisa berupa kehidupan yang tidak berkah, penuh dengan kegelisahan, ketakutan dan senantiasa disibukkan dengan urusan dunia yang tiada habisnya yang hanya mendatangkan kebahagiaan palsu dan menguras energi, biaya dan waktu secara sia-sia.
Dalam sistem ekonomi konvensional, kelangkaan/keterbatasan sumber daya dan kebutuhan manusia yang tak terbatas dipandang sebagai akar dari permasalahan ekonomi baik secara makro maupun mikro. Tidak demikian dalam pandangan islam, sebab Allah Swt menciptakan alam semesta ini untuk manusia sepenuhnya dengan takaran yang tepat tentunya sehingga memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan makhlukNya. Kelangkaan sumber daya yang terjadi lebih diakibatkan karena perilaku berlebih-lebihan/boros (israf), serakah, melampaui batas dan zalim. Selain disebabkan karena perilaku buruk tersebut juga diakibatkan adanya distribusi sumber daya yang tidak merata, keterbatasan manusia dalam ilmu dan teknologi serta konflik antar tujuan yang tidak dikelola dan dikoordinasikan dengan baik diantara manusia. Sehingga kelangkaan yang timbul hakekatnya merupakan kelangkaan relatif, bukan kelangkaan riil.
Maka ketika kebutuhan dan keinginan manusia senantiasa berlomba-lomba menuntut untuk dipenuhi setiap waktu, islam telah mengatur konflik tersebut dengan menetapkan tingkatan maslahah, yakni dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat. Maslahah dharuriyat adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia dalam menjamin tegaknya lima hal pokok yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maslahah hajiyat adalah kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan dharury, sebagai pendukung/sarana menuju lima hal pokok itu. Maslahah tahsiniyat adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap bagi kemaslahatan sebelumnya. Jadi keseluruhan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi manusia adalah serangkaian proses memaksimalkan maslahah, guna memenuhi kebutuhan dan menjaga aqidah, jiwa, akal, keturunan dan harta untuk mencapai falah. Sebaliknya segala usaha yang menyebabkan rusaknya 5 hal pokok tersebut dilarang keras oleh Allah Swt.
Dalam konteks mencapai falah itu, islam memberi pedoman apa saja yang dilarang dan diperbolehkan dalam kegiatan ekonomi dan keuangan. Secara garis besar pelarangan utama pada praktek ekonomi dan keuangan islam meliputi hal sebagai berikut:
1. Praktek maisir atau tindakan spekulasi/judi, akibat tindakan spekulasi ini akan menimbulkan zero sum game, yang artinya satu pihak mendapat keuntungan dengan cara mengorbankan/menzalimi pihak lain tanpa ada pengganti nilai tambah yang setara dengan pengorbanannya tersebut.
2. Praktek gharar atau ketidakjelasan dalam hal akad, transaksi, informasi, kualitas serta kuantitasnya.
3. Praktek riba atau memungut keuntungan/tambahan tanpa melalui transaksi riil yang memiliki nilai tambah, atau dalam kata lain to have something out of nothing.
4. Praktek Risywah atau suap menyuap
5. Segala cara yang berdampak menzalimi pihak lain dan mengandung kegiatan maksiat.
6. Yang mengandung zat yang diharamkan seperti alkohol, daging babi, bangkai, darah, binatang buas dan menjijikan, dll
7. Dan lain-lain yang secara spesifik merupakan turunan atau variasi dari praktek-praktek di atas.
Kegiatan bisnis islam yang diperbolehkan adalah jual beli, sewa menyewa dan bisnis berbasis bagi hasil. Sehingga margin jual beli, biaya sewa/fee/ujrah dan nisbah bagi hasil merupakan sistem perhitungan yang direkomendasikan islam dalam memperoleh keuntungan/tambahan. Intinya adalah seluruh transaksi ekonomi harus memiliki underlying asset, atau adanya barang/jasa secara riil dalam setiap transaksi. Sehingga pemisahan antara sektor riil dan moneter dilarang dalam islam. Ekonomi islam hanya memperbolehkan one monetary unit for one real asset. Prinsip tersebut sangat ampuh menekan ketidakadilan dan kecurangan bisnis yang ditimbulkan dari transaksi dan akad yang manipulatif, akibat pemisahan sektor riil dan moneter.
Selain praktek-praktek dan zat yang dilarang tersebut, selebihnya semuanya diperbolehkan. Jadi sebenarnya lahan yang dilarang hanya sebagian kecil, masih jauh lebih banyak dan lebih luas kegiatan yang diperbolehkan. Tapi mengapa sebagian dari kita merasa sempit untuk lahan yang luas itu, dan merasa luas untuk lahan yang yang dilarang/yang sempit tersebut?
Jika prinsip-prinsip tersebut dilanggar tentulah akan merusak aqidah, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia menjadi tidak berkah, dan secara makro akan melahirkan perekonomian yang labil/rawan krisis dan akan mudah diikuti dengan problemantika sosial ekonomi dan kejahatan global yang bersifat sistemik.
Penutup
Benang merah pada dua kasus yang terjadi di Citibank dan juga kejahatan bisnis dan perbankan lainnya yang marak terjadi saat ini, jika dihadapkan dengan prinsip ekonomi syariah adalah telah menjadikan keuntungan/manfaat fisik sebagai titik akhir atau tujuan terbesarnya. Sehingga ketika muncul kasus yang menguji ketahanan moral dan etika dalam proses mengejar keuntungan, mudah tergelincir ke dalam cara yang mengabaikan hakekat tujuan manusia berekonomi yakni maslahah guna mencapai falah.
Ketika materi dan kenikmatan dunia menjadi daya pikat utama, maka pertimbangan maslahah yang meliputi pemenuhan kebutuhan terhadap agama, jiwa, akal, keluarga dan harta secara komprehensif tidak akan dipedulikan lagi.
Profesionalisme dan target maksimalisasi keuntungan harus dalam bingkai moral dan etika bisnis, yang secara agregat akan membentuk peradaban dunia, dimana harkat dan martabat manusia mendapatkan tempat tertinggi. Di luar bingkai moral dan etika tersebut hanya akan membentuk manusia ekonomi yang selalu terpusat pada kepentingan diri sendiri, dan satu-satunya tanggung jawab sosial manusia ekonomi adalah memaksimalkan keuntungan dengan berbagai cara.
sumber : http://kabepiilampungcom.wordpress.com/2011/05/16/citibank-vs-prinsip-ekonomi-syariah/
Manajemen Kredit Macet Pada Perbankan Di Indonesia
LATAR BELAKANG MASALAH
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan ditegaskan bahwa “Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus dapat memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.” Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan asas perkreditan yang sehat, maka setiap bank diwajibkan membuat suatu kebijakan perkreditan secara tertulis yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pemberian kredit sehari-hari.
Dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 ditetapkan bahwa dalam pemberian kredit tersebut sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :
1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan
2. Organisasi dan manajemen perkreditan
3. Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit
4. Dokumentasi dan administrasi kredit
5. Pengawasan kredit
6. penyelesaian kredit bermasalah
Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan perkreditannya bank wajib mematuhi kebijaksanaan perkreditan yang telah dibuat tersebut secara konsekuen dan konsisten. Kebijaksanaan perkreditan harus sudah diterapkan dan dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 januari 1996. Bagi Bank yang telah mempunyai pedoman tersebut dengan memperhatikan semua aspek-aspek tersebut di atas. Sedangkan bagi Bank yang baru memperoleh izin usaha wajib memiliki dan menerapkan serta melaksanakan kebijaksanaan perkreditan sejak memulai melakukan kegiatan usahanya.
Apabila dalam pelaksanaannya ternyata bank memberikan kredit tidak sesuai dengan kebijaksanaan perkreditan yang telah ditetapkannya, maka Bank Indonesia akan memberikan sanksi yang mempengaruhi penilaian kesehatan bank dan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pedoman tersebut wajib dibuat mengingat bahwa sesuai dengan pengertian kredit, maka lingkup pemberian kredit mencakup banyak aspek dan mengandung resiko yang bervariasi, baik langsung maupun tidak langsung.
PEMBATASAN MASALAH
Dari banyaknya permasalahan kredit bank, menurut ketentuan Bank Indonesia kredit dapat digolongkan menjadi 3 yaitu : Kurang lancar (KL), Diragukan (D), Macet (M). dari ketiga permasalahan kredit tersebut, penulis membatasi pada permasalahan kredit yang menyangkut kredit macet.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kredit
Berdasarkan undang – undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yaitu mewajibkan pihak peminjaman untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
2. Pengertian kredit bermasalah
Kredit bermasalah adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan.
3. Penyebab kredit macet
a. Error Omission (EO)
Timbulnya kredit macet yang ditimbulkan oleh adanya unsur kesengajaan untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan.
b. Error Commusion
Timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya peraturan atau ketentuan yaitu memang belum ada atau sudah ada, tetapi tidak jelas.
Kredit-kredit yang disalurkannya jika banyak yang macet akan menimbulkan kerugian yang besar. Kerugian yang besar ini akan menghambat operasi perusahaan. Dan supaya kegiatan perbankan tidak terganggu, maka nanti Pemerintah juga yang harus memberi injeksi modal. Artinya, rakyat juga yang harus menanggung beban yang ditimbulkan oleh kredit macet itu. Selain itu, bank-bank. Pemerintah hingga kini masih dominan dalam jumlah asset terhadap keseluruhan aset perbankan nasional. Biasanya di saat kredit macet terjadi dan dilakukan pemeriksaan, maka persoalannya tidak akan lepas dari EO dan EC atau bahkan karena dua-duanya.
Berdasarkan pengalaman kasus-kasus perbankan nasional yang berkaitan dengan kredit macet mnimbulkan semacam persepsi yang cenderung menjadi suatu “mitos” yang masih dianut, antara lain adalah :
1). Bahwa bank tidak mengalami kerugian akibat resiko kredit. Atas pemahaman ini, maka merupakan kesalahan sekaligus “kejahatan” besar apabila pada sebuah bank tercatat adanya kredit macet. Padahal risiko kredit jelas merupakan risiko yang selalu ada dan tidak bisa dihindari.
2). Dalam setiap kasus kredit macet, maka selalu diartikan itu karena terjadi kolusi dan atau korupsi apakah oleh pihak oknum bankir ataupun oknum nasabahnya. Hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi tidak semua kredit macet karena kolusi dan korupsi.
3). Dalam setiap penanganan kredit macet selalu mengutamakan pendekatan “sapu jagat” di mana going concern baik bank dan perusahaannya menjadi diabaikan. Kalau kredit macet itu karena ulah oknumnya, maka bukan berarti bank ataupun perusahaannya harus dimatiin. Bank yang tercemar akan menimbulkan efek domino berupa terjadi krisis kepercayaaan terhadap industri perbankan. Efek domino itu sering negative melalui pencairan dana dan melarikannya ke luar negeri.
4). Ada kecenderungan kajian atas kredit macet mengabaikan term of reference masa lalu. Kredit yang diputus tahun 2000, misalnya, dan kemudian macet tahun 2004, maka berusahalah dikaji atas dasar term of reference pada tahun 2000. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan asumsi.
Dengan pedekatan term of reference, biasanya akan diketehui apakah redit macet itu karena error omission atau error commission. Jadi kesalahannya bias saja bukan pada dasar keputusannya, tetapi karena masalah monitoring dan pembinaan bank terhadap nasabahnya. Sama-sama salah, tetapi esensi- nya menjadi lebih jelas dan memudahkan menemukan siapa yang bertanggung jawab, bukan siapa yang dipersalahkan.
Harusnya kalau kredit macet itu terbukti memang karena oknumnya yang salah, maka segera saja proses secara hukum terhadap oknumnnya. Itu pun dengan tetap menjaga asa praduga tak bersalah. Adalah sangat bijak kalau bank dan perusahaannya bisa dibiarkan berjalan terus apakah oleh manajemen baru atau kalau perlu ditunjuk dari kalangan professional atas dasar penugasan dari Negara. Sebab sangatlah tidak tepat dan bijaksana kalau perusahaannya harus ditutup di mana para pekerjanya yang sama sekali tidak bersalah akan ikut menjadi korbannya.
4. Penyelamatan dan penyelesaian kredit macet
Apabila sampai terjadi kredit bermasalah, maka harus melakukan upaya-upaya dalam mengatasi kredit bermasalah sampai tidak ada alternative lainnya, serta melakukan penghapusan kredit dan pengelolaan kredit yaitu telah dihapus bukukan.
Penyelamatan kredit bermasalah tersebut dilakukan dengan cara (Resceduling, Reconditioning, Restructuring).
a. Penjadwalan kembali (Rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktunya.
b. Persyaratan kembali (Reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya, sepanjang tidak menyangkut maksimum saldo kredit.
c. Penataan kembali (Restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang meliputi reschedulling, reconditioning.
Mencegah terjadinya kredit macet
Untuk mencegah terjadinya kredit macet pihak bank harus melakukan analisis sebagai berikut kepada calon krediturnya.
Analisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka 5C, 3R dan analisis Rasio.
a. Kerangka 5C
• Character
Pihak bank harus mengenali sifat dan watak calon kreditur. Apakah ia mau memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit? Hal ini penting untuk diketahui, karena dapat memengerahui keputusan untuk dapat memberikan kredit atau tidak. Pihak bank harus memahami karakter calon kreditur menyangkut apakah kreditur seseorang yang dapat dipercaya.
Pihak bank dapat mengetahui dengan melihat latar belakang calon kreditur baik itu pekerjaan, sifat pribadi, cara hidup, gaya hidup, keadaan keluarga, hobi dan jiwa sosial.
• Capacity
Pihak bank harus mengukur kemampuan nasabah untuk melunasi kewajiban hutangnya, melalui pengelolaan perusahaannya secara efektif dan efisien. Jika nasabah dapat menegelola perusahaannya dengan baik, maka perusahaan bisa memperoleh keuntungan dan memungkinkan untuk dapat mengembalikan pinjaman. Capacity dapat dilihat dari data-data masa lalu (track record) perusahaan.
• Capital
Pihak bank dapat melihat kondisi keuangan nasabah melalui analisis keuangan, seperti analisis rasio. Pihak bank sebaiknya melihat komposisi hutang dan modal sendiri. Jika hutang terlalu besar, maka kemungkinan perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan juga akan semaikn besar.
Selain itu untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, dapat dilihat dari laporan keuangan yang disajikan dengan pengukuran atas rasio-rasio keuangan. Analisis capital juga harus menganalisis dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini, termasuk persentase modal yang digunakan untuk membiayai proyek yang akan dijalankan (Capital Structure).
• Collateral
Collateral adalah aset yang dijaminkan untuk suatu pinjaman. Jika karena sesuatu hal, pinjaman tidak bisa dikembalikan, maka pihak bank berhak untuk meminta jaminan tersebut.
• Conditions
Pihak bank sebaiknya mempertimbangkan kondisi perekonomian, sosial, dan politik yang dapat memengaruhi kemampuan nasabah untuk mengembalikan pinjaman. Jika kondisi perekonomian memburuk, maka kemungkinan nasabah mengalami kesulitan keuangan dapat semakin tinggi, yang membuat kemampuan perusahaan mengalami kesulitan melunasi pinjaman.
b. Kerangka 3R :
1. Returns
Pihak bank harus dapat memperkirakan bahwa kredit yang diberikan kepada nasabah dapat menghasilkan return (pendapatan) yang memadai.
2. Repayment capacity
Pihak bank harus dapat memastikan bahwa nasabah mampu untuk melunasi pinjamam dan bunganya pada saat pembayaran tersebut jatuh tempo.
3. Risk-bearing ability
Pihak bank perlu mempertimbangkan jaminan yang dimiliki oleh nasabah. Jaminan tersebut dapat digunakan apabila nasabah menghadapi risiko kegagalan atau ketidakpastian yang berkaitan dengan penggunaan kredit yang diberikan.
KESIMPULAN
Adanya kredit bermasalah tersebut akan menyebabkan menurunnya pendapatan bank, selanjutnya memungkinkan terjadinya penurunan laba. Kredit bermasalah dapat dilakukan secara sistematis dengan mengembangkan system “pengenalan diri” yang berupa suatu daftar kejadian atau gejala yaitu diperkirakan dapat menyababkan suatu pinjaman berkembang menjadi kredit bermasalah.
Dengan deteksi dan pengenalan diri akan sangat penting untuk mengantisipasi kemungkinan masalah yang timbul, baik secara individual maupun secara portofolio kredit dan menyusun rencana serta mengambil langkah sebelum masalah benar-benar terjadi.
sumber : http://gemarosari.blogspot.com/2011/05/manajemen-kredit-macet-pada-perbankan.html
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan ditegaskan bahwa “Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus dapat memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.” Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan asas perkreditan yang sehat, maka setiap bank diwajibkan membuat suatu kebijakan perkreditan secara tertulis yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pemberian kredit sehari-hari.
Dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 ditetapkan bahwa dalam pemberian kredit tersebut sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :
1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan
2. Organisasi dan manajemen perkreditan
3. Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit
4. Dokumentasi dan administrasi kredit
5. Pengawasan kredit
6. penyelesaian kredit bermasalah
Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan perkreditannya bank wajib mematuhi kebijaksanaan perkreditan yang telah dibuat tersebut secara konsekuen dan konsisten. Kebijaksanaan perkreditan harus sudah diterapkan dan dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 januari 1996. Bagi Bank yang telah mempunyai pedoman tersebut dengan memperhatikan semua aspek-aspek tersebut di atas. Sedangkan bagi Bank yang baru memperoleh izin usaha wajib memiliki dan menerapkan serta melaksanakan kebijaksanaan perkreditan sejak memulai melakukan kegiatan usahanya.
Apabila dalam pelaksanaannya ternyata bank memberikan kredit tidak sesuai dengan kebijaksanaan perkreditan yang telah ditetapkannya, maka Bank Indonesia akan memberikan sanksi yang mempengaruhi penilaian kesehatan bank dan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pedoman tersebut wajib dibuat mengingat bahwa sesuai dengan pengertian kredit, maka lingkup pemberian kredit mencakup banyak aspek dan mengandung resiko yang bervariasi, baik langsung maupun tidak langsung.
PEMBATASAN MASALAH
Dari banyaknya permasalahan kredit bank, menurut ketentuan Bank Indonesia kredit dapat digolongkan menjadi 3 yaitu : Kurang lancar (KL), Diragukan (D), Macet (M). dari ketiga permasalahan kredit tersebut, penulis membatasi pada permasalahan kredit yang menyangkut kredit macet.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kredit
Berdasarkan undang – undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yaitu mewajibkan pihak peminjaman untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
2. Pengertian kredit bermasalah
Kredit bermasalah adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan.
3. Penyebab kredit macet
a. Error Omission (EO)
Timbulnya kredit macet yang ditimbulkan oleh adanya unsur kesengajaan untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan.
b. Error Commusion
Timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya peraturan atau ketentuan yaitu memang belum ada atau sudah ada, tetapi tidak jelas.
Kredit-kredit yang disalurkannya jika banyak yang macet akan menimbulkan kerugian yang besar. Kerugian yang besar ini akan menghambat operasi perusahaan. Dan supaya kegiatan perbankan tidak terganggu, maka nanti Pemerintah juga yang harus memberi injeksi modal. Artinya, rakyat juga yang harus menanggung beban yang ditimbulkan oleh kredit macet itu. Selain itu, bank-bank. Pemerintah hingga kini masih dominan dalam jumlah asset terhadap keseluruhan aset perbankan nasional. Biasanya di saat kredit macet terjadi dan dilakukan pemeriksaan, maka persoalannya tidak akan lepas dari EO dan EC atau bahkan karena dua-duanya.
Berdasarkan pengalaman kasus-kasus perbankan nasional yang berkaitan dengan kredit macet mnimbulkan semacam persepsi yang cenderung menjadi suatu “mitos” yang masih dianut, antara lain adalah :
1). Bahwa bank tidak mengalami kerugian akibat resiko kredit. Atas pemahaman ini, maka merupakan kesalahan sekaligus “kejahatan” besar apabila pada sebuah bank tercatat adanya kredit macet. Padahal risiko kredit jelas merupakan risiko yang selalu ada dan tidak bisa dihindari.
2). Dalam setiap kasus kredit macet, maka selalu diartikan itu karena terjadi kolusi dan atau korupsi apakah oleh pihak oknum bankir ataupun oknum nasabahnya. Hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi tidak semua kredit macet karena kolusi dan korupsi.
3). Dalam setiap penanganan kredit macet selalu mengutamakan pendekatan “sapu jagat” di mana going concern baik bank dan perusahaannya menjadi diabaikan. Kalau kredit macet itu karena ulah oknumnya, maka bukan berarti bank ataupun perusahaannya harus dimatiin. Bank yang tercemar akan menimbulkan efek domino berupa terjadi krisis kepercayaaan terhadap industri perbankan. Efek domino itu sering negative melalui pencairan dana dan melarikannya ke luar negeri.
4). Ada kecenderungan kajian atas kredit macet mengabaikan term of reference masa lalu. Kredit yang diputus tahun 2000, misalnya, dan kemudian macet tahun 2004, maka berusahalah dikaji atas dasar term of reference pada tahun 2000. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan asumsi.
Dengan pedekatan term of reference, biasanya akan diketehui apakah redit macet itu karena error omission atau error commission. Jadi kesalahannya bias saja bukan pada dasar keputusannya, tetapi karena masalah monitoring dan pembinaan bank terhadap nasabahnya. Sama-sama salah, tetapi esensi- nya menjadi lebih jelas dan memudahkan menemukan siapa yang bertanggung jawab, bukan siapa yang dipersalahkan.
Harusnya kalau kredit macet itu terbukti memang karena oknumnya yang salah, maka segera saja proses secara hukum terhadap oknumnnya. Itu pun dengan tetap menjaga asa praduga tak bersalah. Adalah sangat bijak kalau bank dan perusahaannya bisa dibiarkan berjalan terus apakah oleh manajemen baru atau kalau perlu ditunjuk dari kalangan professional atas dasar penugasan dari Negara. Sebab sangatlah tidak tepat dan bijaksana kalau perusahaannya harus ditutup di mana para pekerjanya yang sama sekali tidak bersalah akan ikut menjadi korbannya.
4. Penyelamatan dan penyelesaian kredit macet
Apabila sampai terjadi kredit bermasalah, maka harus melakukan upaya-upaya dalam mengatasi kredit bermasalah sampai tidak ada alternative lainnya, serta melakukan penghapusan kredit dan pengelolaan kredit yaitu telah dihapus bukukan.
Penyelamatan kredit bermasalah tersebut dilakukan dengan cara (Resceduling, Reconditioning, Restructuring).
a. Penjadwalan kembali (Rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktunya.
b. Persyaratan kembali (Reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya, sepanjang tidak menyangkut maksimum saldo kredit.
c. Penataan kembali (Restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang meliputi reschedulling, reconditioning.
Mencegah terjadinya kredit macet
Untuk mencegah terjadinya kredit macet pihak bank harus melakukan analisis sebagai berikut kepada calon krediturnya.
Analisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan kerangka 5C, 3R dan analisis Rasio.
a. Kerangka 5C
• Character
Pihak bank harus mengenali sifat dan watak calon kreditur. Apakah ia mau memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit? Hal ini penting untuk diketahui, karena dapat memengerahui keputusan untuk dapat memberikan kredit atau tidak. Pihak bank harus memahami karakter calon kreditur menyangkut apakah kreditur seseorang yang dapat dipercaya.
Pihak bank dapat mengetahui dengan melihat latar belakang calon kreditur baik itu pekerjaan, sifat pribadi, cara hidup, gaya hidup, keadaan keluarga, hobi dan jiwa sosial.
• Capacity
Pihak bank harus mengukur kemampuan nasabah untuk melunasi kewajiban hutangnya, melalui pengelolaan perusahaannya secara efektif dan efisien. Jika nasabah dapat menegelola perusahaannya dengan baik, maka perusahaan bisa memperoleh keuntungan dan memungkinkan untuk dapat mengembalikan pinjaman. Capacity dapat dilihat dari data-data masa lalu (track record) perusahaan.
• Capital
Pihak bank dapat melihat kondisi keuangan nasabah melalui analisis keuangan, seperti analisis rasio. Pihak bank sebaiknya melihat komposisi hutang dan modal sendiri. Jika hutang terlalu besar, maka kemungkinan perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan juga akan semaikn besar.
Selain itu untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, dapat dilihat dari laporan keuangan yang disajikan dengan pengukuran atas rasio-rasio keuangan. Analisis capital juga harus menganalisis dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini, termasuk persentase modal yang digunakan untuk membiayai proyek yang akan dijalankan (Capital Structure).
• Collateral
Collateral adalah aset yang dijaminkan untuk suatu pinjaman. Jika karena sesuatu hal, pinjaman tidak bisa dikembalikan, maka pihak bank berhak untuk meminta jaminan tersebut.
• Conditions
Pihak bank sebaiknya mempertimbangkan kondisi perekonomian, sosial, dan politik yang dapat memengaruhi kemampuan nasabah untuk mengembalikan pinjaman. Jika kondisi perekonomian memburuk, maka kemungkinan nasabah mengalami kesulitan keuangan dapat semakin tinggi, yang membuat kemampuan perusahaan mengalami kesulitan melunasi pinjaman.
b. Kerangka 3R :
1. Returns
Pihak bank harus dapat memperkirakan bahwa kredit yang diberikan kepada nasabah dapat menghasilkan return (pendapatan) yang memadai.
2. Repayment capacity
Pihak bank harus dapat memastikan bahwa nasabah mampu untuk melunasi pinjamam dan bunganya pada saat pembayaran tersebut jatuh tempo.
3. Risk-bearing ability
Pihak bank perlu mempertimbangkan jaminan yang dimiliki oleh nasabah. Jaminan tersebut dapat digunakan apabila nasabah menghadapi risiko kegagalan atau ketidakpastian yang berkaitan dengan penggunaan kredit yang diberikan.
KESIMPULAN
Adanya kredit bermasalah tersebut akan menyebabkan menurunnya pendapatan bank, selanjutnya memungkinkan terjadinya penurunan laba. Kredit bermasalah dapat dilakukan secara sistematis dengan mengembangkan system “pengenalan diri” yang berupa suatu daftar kejadian atau gejala yaitu diperkirakan dapat menyababkan suatu pinjaman berkembang menjadi kredit bermasalah.
Dengan deteksi dan pengenalan diri akan sangat penting untuk mengantisipasi kemungkinan masalah yang timbul, baik secara individual maupun secara portofolio kredit dan menyusun rencana serta mengambil langkah sebelum masalah benar-benar terjadi.
sumber : http://gemarosari.blogspot.com/2011/05/manajemen-kredit-macet-pada-perbankan.html
Masalah perbankan
kasus Inong Melinda Dee
Jakarta – Skandal Melinda Dee dan Bank Mega-Elnusa seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi dunia perbankan untuk memperbaiki diri. Salah satunya dengan perbaikan data pelanggaran perbankan yang masih lemah. Selain itu juga diperkuat dengan ‘biro kredit’ yang akan berbagi informasi profil nasabah kepada perbankan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ‘Kejahatan Perbankan’di Graha Niaga, Jl Jenderal Sudirman, Senin (2/5/2011). Hadir sebagai pembicara, pengamat perbankan Jos Luhukay dan pendiri Strategic Indonesia Christovito Wiloto.
“Dunia perbankan tidak berhenti dirongrong oleh tindak kejahatan. Apalagi kalau sudah terjadi kolusi antara frauder atau broker, nasabah dan orang dalam bank. Itu sudah menjadi segitiga yang sulit bagi bank menutup diri (dari serangan kejahatan). (Kalau itu terjadi), Itu sudah susah banget mendeteksi dan mengatasi,” kata Jos Luhukay.
“Tetapi bukan berarti tanpa solusi. Ada mekanisme ‘automatic control audit’ seperti memperbaiki data pelanggaran. Ini sangat teknis namun efektif. Itu seperti seseorang yang biasa naik pesawat kelas ekonomi, tiba-tiba naik first class. Sistem akan curiga dan memastikan, apakah benar Anda yang akan naik atau kartu Anda dipakai oleh orang lain,” imbuh mantan Presdir Lippo Bank tersebut.
Jos menambahkan, dengan memperkuat data pelanggaran yang berbasis komputer, kejahatan dapat diminialisir. Sebab, dengan jumlah transaksi harian mencapai 10 juta transaksi diseluruh perbankan, sulit mendeteksi kalau hanya mengandalkan pola konvensional.
“Perharinya sekarang mencapai 10 juta transaksi. Ada satu saja kejahatan, sulit dideteksi kalau hanya mengandalkan model yang sekarang. Dari ribuan bank (di Indonesia) hanya beberapa yang sudah menerapkan. Itu pun belum secara menyeluruh,” imbuhnya.
“Jadi kalau biasa melakukan transaksi Rp 20 juta tetapi tiba-tiba transaksi Rp 2 miliar, sistem akan me-lock. Akan mengunci otomatis. Karena diluar kebiasaan,” tandas Jos.
Saat ini, untuk memantau aktivitas transaksi yang disesuaikan dengan profil nasabah dipegang oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Juga otoritas pengawas perbankan yakni Bank Indonesia.
Sejumlah kasus korupsi dan kejahatan perbankan menunjukan bank seakan menutup mata dengan membiarkan transaksi di luar profil nasabah. Seperti anak terpidana korupsi Bahasyim Assifie yang masih mahasiswa tetapi dapat memiliki lalu-lintas rekening hingga ratusan miliar rupiah. Juga Gayus Tambunan yang hanya pegawai negeri golongan III A tetapi mempunyai rekening puluhan miliar.
kesimpulan :Itu seharusnya menjadi pelajaran bagi bank supaya tidak terantuk batu yang sama. Negara kecil sepeti Nepal, Bhutan dan Mongolia sudah mempunyai (sistem) itu. Juga biro kredit yang menyediakan informasi lengkap tentang nasabah, informasi yang asimetris,” tandas Jos yang berkali-kali menyesalkan kasus kasus perbankan seperti Melinda Dee dan Elnusa tersebut. Agar kasus seperti ini tidak terulang lagi dan agar menjadi pelajaran bagi pihak bank agar memperketat sistem keamanan pada bank tersebut , sehingga tidak merugikan banyak orang .
Jakarta – Skandal Melinda Dee dan Bank Mega-Elnusa seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi dunia perbankan untuk memperbaiki diri. Salah satunya dengan perbaikan data pelanggaran perbankan yang masih lemah. Selain itu juga diperkuat dengan ‘biro kredit’ yang akan berbagi informasi profil nasabah kepada perbankan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ‘Kejahatan Perbankan’di Graha Niaga, Jl Jenderal Sudirman, Senin (2/5/2011). Hadir sebagai pembicara, pengamat perbankan Jos Luhukay dan pendiri Strategic Indonesia Christovito Wiloto.
“Dunia perbankan tidak berhenti dirongrong oleh tindak kejahatan. Apalagi kalau sudah terjadi kolusi antara frauder atau broker, nasabah dan orang dalam bank. Itu sudah menjadi segitiga yang sulit bagi bank menutup diri (dari serangan kejahatan). (Kalau itu terjadi), Itu sudah susah banget mendeteksi dan mengatasi,” kata Jos Luhukay.
“Tetapi bukan berarti tanpa solusi. Ada mekanisme ‘automatic control audit’ seperti memperbaiki data pelanggaran. Ini sangat teknis namun efektif. Itu seperti seseorang yang biasa naik pesawat kelas ekonomi, tiba-tiba naik first class. Sistem akan curiga dan memastikan, apakah benar Anda yang akan naik atau kartu Anda dipakai oleh orang lain,” imbuh mantan Presdir Lippo Bank tersebut.
Jos menambahkan, dengan memperkuat data pelanggaran yang berbasis komputer, kejahatan dapat diminialisir. Sebab, dengan jumlah transaksi harian mencapai 10 juta transaksi diseluruh perbankan, sulit mendeteksi kalau hanya mengandalkan pola konvensional.
“Perharinya sekarang mencapai 10 juta transaksi. Ada satu saja kejahatan, sulit dideteksi kalau hanya mengandalkan model yang sekarang. Dari ribuan bank (di Indonesia) hanya beberapa yang sudah menerapkan. Itu pun belum secara menyeluruh,” imbuhnya.
“Jadi kalau biasa melakukan transaksi Rp 20 juta tetapi tiba-tiba transaksi Rp 2 miliar, sistem akan me-lock. Akan mengunci otomatis. Karena diluar kebiasaan,” tandas Jos.
Saat ini, untuk memantau aktivitas transaksi yang disesuaikan dengan profil nasabah dipegang oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Juga otoritas pengawas perbankan yakni Bank Indonesia.
Sejumlah kasus korupsi dan kejahatan perbankan menunjukan bank seakan menutup mata dengan membiarkan transaksi di luar profil nasabah. Seperti anak terpidana korupsi Bahasyim Assifie yang masih mahasiswa tetapi dapat memiliki lalu-lintas rekening hingga ratusan miliar rupiah. Juga Gayus Tambunan yang hanya pegawai negeri golongan III A tetapi mempunyai rekening puluhan miliar.
kesimpulan :Itu seharusnya menjadi pelajaran bagi bank supaya tidak terantuk batu yang sama. Negara kecil sepeti Nepal, Bhutan dan Mongolia sudah mempunyai (sistem) itu. Juga biro kredit yang menyediakan informasi lengkap tentang nasabah, informasi yang asimetris,” tandas Jos yang berkali-kali menyesalkan kasus kasus perbankan seperti Melinda Dee dan Elnusa tersebut. Agar kasus seperti ini tidak terulang lagi dan agar menjadi pelajaran bagi pihak bank agar memperketat sistem keamanan pada bank tersebut , sehingga tidak merugikan banyak orang .
Langganan:
Postingan (Atom)